Muncul kecenderungan baru yang pelan tapi pasti, yaitu bergesernya sumber kemakmuran dari natural asset seperti tanah, sumberdaya alam, buruh murah ke manufactured tangible assets yaitu pabrik & peralatannya, dan pengetahuan yang melekat pada manusia yang mengelola usaha tersebut. Untuk mencitptakan intangible assets diperlukan pengetahuan dan informasi.
Pengetahuan menjadi sangat penting dan strategis untuk meningkatkan kemakmuran. Pengetahuan baru tentang cara-cara produksi misalnya akan segera menyebar dan mudah ditiru, yang akhirnya jika tidak di-upgrade akan menjadi kurang bernilai. Pengetahuan yang menghasilkan kemakmuran di era sekarang ini adalah pengetahuan yang yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang menciptakan nilai bagi pelanggannya dan sulit untuk ditiru atau digantikan. Oleh karena itu untuk mengembangkan knowledge economy berarti mengembangkan kemampuan untuk menciptakan dan menggunakan pengetahuan baru secara berkesinambungan.
Kemampuan menciptakan dan menggunakan pengetahuan baru secara berkesinambungan sangat dipengaruhi oleh derajat kewirausahaan seseorang, karena kewirausahaan adalah suatu proses dinamik penciptaan kemakmuran. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan dan membangun suatu visi dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada dan bermakna bagi manusia melalui tindakan kreatif. Entrepreneur cenderung menggunakan enerjinya untuk melakukan dan membangun suatu kegiatan, ketimbang hanya melakukan pengamatan dan analisis. Dengan visinya, entrepreneur itu dengan sadar memperhitungkan risiko – baik secara personal maupun finansial – dan kemudian melakukan apa saja agar bisa mengurangi risiko dan kemungkinan gagal. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk mengindera (sensing) suatu opportunity, ketika yang lain masih melihatnya sebagai chaos, suatu yang kontradiksi, dan membingungkan. Entrepreneur itu memiliki know-how bagaimana menemukan sesuatu, merangkai, dan mengendalikan sumber-sumber (yang kadang-kadang dimiliki oleh orang lain) untuk mewujudkan tujuannya.
Pengetahuan yang dimiliki oleh entrepreneur itu bisa dipelajari sebagaimana kita mempelajari pengetahuan lainnya, yang lebih penting adalah menangkap spirit kewirausahaan. Spirit ini yang akan memotivasi seseorang untuk mengembangkan kemampuan entrepreneurialnya.
Dalam kesulitan ekonomi yang kita alami sekarang ini nampak ada isyarat bahwa masyarakat sudah mulai sadar akan pentingya inovasi. Harian Kompas beberapa minggu yang lalu memuat berita bahwa sekitar 600 paten diajukan oleh usaha kecil dan menengah (UKM). Reportase majalah Asiaweek edisi Oktober 2001 melaporkan bahwa dari segi pendaftaran paten, meski Indonesia hanya menempati urutan nomor dua terbawah, tetapi dengan tertiary enrolment (penduduk yang menamatkan sekolah lanjutan atas) yang mendekati Malaysia (Indonesia 11%, Malaysia 12%) ada harapan bila situasi ekonomi dan politik sudah kondusif terbuka peluang bagi munculnya lapisan entrepreneur yang masif.
Data yang dipaparkan Asiaweek dan reportase Kompas adalah suatu isyarat positif bagi perkembangan UKM, yaitu mereka mulai akrab dengan inovasi, yang merupakan hasil dari learning orientation dan menjadi embrio bagi terbentuknya wiraswasta inovatif. Learning (belajar) merupakan salah satu sumber paling penting bagi siapa saja untuk menciptakan keunggulan bersaing. Di dalam belajar selalu berlangsung suatu dialog yang terus menerus yang memberikan ruang bagi terbentuknya proses kreatif. Proses belajar akan menghasilkan pengetahuan (knowledge) baik yang bersifat tacit maupun explicit.
Untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dengan negara-negara Asia Pasifik sudah saatnya masyarakat perguruan tinggi (khususnya pendidikan tinggi teknik) mempunyai komitmen mengajarkan pengetahuan kewirausahaan agar virus entrepreneurship menyebar di kalangan lulusan perguruan tinggi sehingga dimungkinkan munculnya lapisan terpelajar yang mempunyai spirit entreprneurship yang bisa menjawab tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan lingkungannya.
Perguruan tinggi dengan tradisi ilmiahnya yaitu selalu mengedepankan sikap skeptis terhadap “theory in use” dan selalu berusaha mencari kebaruan atau dengan istilah yang dikenalkan oleh Schumpeter yaitu creative destruction sebenarnya mampu melakukan hal itu. Mengapa perguruan tinggi di Indonesia, terutama di daerah belum mampu menjadi sumber inovasi, belum mampu meningkatkan kualitas SDM melalui pemikiran dan karya? Pendapat saya, sebagai seorang pengusaha, adalah masih rendahnya spirit kewirausahaan.
Saya di sini akan menggunakan pandangan Joseph A. Schumpeter, ekonom asal Austria yang kemudian menetap di Amerika (1883 – 1950) tentang entrepreneur. Ia mengatakan bahwa perilaku dan sifat entrepreneur yang khas adalah kemampuannya, kecerdasannya dan keberaniannya yang ditopang oleh ketetapan hatinya dan keteguhan jiwanya untuk melancarkan usaha yang serba baru dengan melihat pada kemungkinan-kemungkinan potensial di masa depan dan berhasil menjelmakan menjadi kenyataan efektif.
Satu hal dari pandangan Schumpeter yang menggugah adalah penilainnya tentang entrepreneur yang sama sekali berbeda dengan pengusaha (businessman). Entrepreneur memiliki “sikap jeli” terhadap kemungkinan potensial yang terbayang dalam perkembangan masa depan, kemudian mampu merintis dan mengatur inovasi, menempuh pola baru dalam penggunaan sumber dana dan daya produksi dalam suatu kombinasi optimal yang baru pula (neue Kombination).
Penemuan (Invention) yang ada baik di dunia perguruan tinggi atau di laboratorium-laboratorium penelitian milik pemerintah tidak akan ada artinya jika tidak digunakan secara komersil. Di sinilah perlunya komunikasi timbal balik antara perguruan tinggi dengan masyarakat terutama dunia usaha agar mereka mau menggunakan temuan-temuan itu untuk digunakan dalam kegiatan usaha. Dunia usaha dan masyarakat harus diyakinkan bahwa dengan inovasi atau lebih tepat disebut Neue Kombination dapat memperbesar laba, menghemat biaya (cost reducing) atau menciptakan permintaan (demand creating).
Kemitraan antara pendidikan tinggi dengan dunia usaha menjadi prasyarat mutlak untuk merangsang inovasi di kalangan pendidikan tinggi dan para lulusannya. Banyak tugas akhir mahasiswa teknik yang potensial memiliki nilai komersil tetapi hanya tersimpan di perpustakaan saja karena belum tumbuhnya tradisi kerjasama antara pendidikan tinggi dan dunia usaha.
Untuk ke depan sudah saatnya dipikirkan oleh kalangan dunia usaha untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan masyarakat perguruan tinggi dalam kerangka untuk meningkatkan daya saing dan menyebarkan tradisi entrepreneurship di kalangan pendidikan tinggi.
Keengganan lulusan perguruan tinggi memilih menjadi entrepreneur salah satunya karena terjebak dalam mitos. Mahasiswa teknik hanya dibekali dengan kemampuan kognisi, tetapi tidak dibangkitkan daya afeksinya sehingga tidak terbangun orientasi sikap yang menjurus ke opportunity oriented. Lulusan pendidikan teknik lebih banyak ingin bekerja pada perusahaan ketimbang membangun usaha sendiri. Inilah tantangan ke depan yang harus dihadapi. Para lulusan perguruan tinggi sampai saat ini masih gamang memasuki dunia kewirausahaan karena adanya mitos yang seolah tidak terbantahkan. Sedikitnya ada 10 mitos yang membelenggu pikiran para pemula yang akan memasuki dunia kewirausahaan.
Mitos 1: Entrepreneur adalah pelaku, bukan pemikir
Dalam batas-batas tertentu entrepreneur memiliki kecenderungan berorientasi kepada tindakan, tetapi sebenarnya mereka juga pemikir. Mereka adalah orang yang berfikir sistematis yang merencanakan langkahnya dengan hati-hati. Entrepreneur pemikir dengan entrepreneur pelaksana adalah sama-sama melaksanakan kegiatan entrepreneurship.
Mitos 2: Entrepreneur itu dilahirkan, bukan diciptakan
Muncul anggapan bahwa tabiat dan sifat entrepreneur tidak dapat diajarkan atau dipelajari, mereka memiliki bakat pembawaan lahir. Bakat tersebut diantaranya adalah mencakup ke-agresif-an, inisiatif, dorongan, kemauan untuk mengambil risiko, kemampuan analitik, dan kemampuan human relation. Sekarang diakui bahwa entrepreneurship adalah suatu disiplin ilmu yang dapat membantu untuk mematahkan mitos. Seperti halnya ilmu-ilmu lain entrepreneurship mempunyai model, proses, dan studi kasus yang memungkinkan untuk mengkaji suatu topik dan menguraikan karakteristik obyek yang dikajinya.
Mitos 3: Entrepreneur selalu merupakan penemu (Inventors)
Pemikiran yang menganggap entrepreneur adalah penemu merupakan akibat dari kurang dipahaminya visi tersembunyi entrepreneur. Memang dalam keadaan tertentu penemu juga sekaligus menjadi entrepreneur. Di sini ada sejumlah entrepreneur yang melakukan berbagai jenis kegiatan inovatif tetapi bukan penemu. Contoh Ray Kroc, tidak menemukan franchise fast-food, tapi ide inovatifnya menjadikan McDonald merupakan perusahaan fast-food terbesar di dunia. Pemahaman terbaru tentang entrepreneurship cakupannya bukan sekedar pada invention. Tapi mencakup pemahaman yang lengkap dari perilaku inovatif apapun bentuknya.
Mitos 4: Entrepreneur adalah orang yang canggung baik di dunia akademis atau di masyarakat.
Ada kepercayaan bahwa entrepreneur secara akademis dan sosial merupakan orang yang gagal. Mereka berhasil menjalankan usahanya karena drop out dari sekolah atau dipecat dari tempat kerja. Ini kemudian digunakan untuk memahami profil entrepreneur tipikal. Secara historis sebenarnya pendidikan dan organisasi sosial tidak mengakui entrepreneur. Entrepreneur disingkirkan dari dunia perusahaan raksasa karena dianggap orang yang canggung. Dalam pendidikan bisnis, untuk contoh tujuan utamanya adalah memahami aktivitas perusahaan bukan pada siapa yang berada di balik perusahaan. Sekarang entrepreneur dipandang sebagai hero – baik secara sosial, ekonomi, dan akademik. Dia bukan lagi si canggung, entrepreneur sekarang dipandang sebagai profesional.
Mitos 5: Entrepreneur harus sesuai dengan profil
Banyak buku dan artikel menyajikan cheklist ciri-ciri entrepreneur sukses. Daftar tersebut baik yang divalidasi atau tidak didasarkan pada studi kasus dan temuan riset atas orang-orang yang berorientasi pada pencapaian. Sekarang sangat susah untuk melakukan kompilasi hingga terwujud standar profil entrepreneurial.
Mitos 6: Untuk menjadi entrepreneur anda perlu memiliki uang
Memang benar bahwa semua usaha membutuhkan modal untuk bisa berjalan; juga benar bahwa banyak bisnis jatuh karena tidak didukung keuangan yang memadai. Sekarang uang bukan satu-satunya benteng untuk menghadapi kegagalan bisnis. Kegagalan bisnis yang berkaitan dengan tidak adanya dukungan finansial yang memadai sering menjadi indikator adanya problem lain dalam usaha tersebut seperti: ketidakmampuan manajemen, lemahnya pemahaman terhadap persoalan keuangan; investasi yang buruk; perencanaan yang jelek dan sejenisnya. Banyak entrepreneur sukses berhasil mengatasi persoalan kekurangan uang dalam menjalankan usahanya, uang adalah sumber daya atau sarana yang digunakan untuk menjalankan usaha tapi tidak pernah menjadi tujuan akhir dari usaha itu sendiri.
Mitos 7: Anda perlu nasib baik untuk menjadi entrepreneur
Berada pada “tempat yang benar dan waktu yang tepat” selalu menjadi suatu keunggulan. Tapi yang lebih tepat adalah “keberuntungan muncul ketika kemampuan dan persiapan bertemu dengan kesempatan”. Entrepreneur adalah orang melakukan serangkaian persiapan agar berhasil menggapai kesempatan. Ketika kesempatan itu muncul dan dapat diraih sering dianggap sebagai suatu keberuntungan. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang selalu melakukan persiapan untuk menghadapi berbagai situasi dan mengubahnya menjadi sukses. Apa yang nampak sebagai suatu keberuntungan sebenarnya adalah buah dari melakukan perencanaan, menetapkan tujuan dan keinginan, mengakumulasi pengetahuan, dan melakukan inovasi. Intinya seorang entrepreneur adalah yang terus menerus waspada dan belajar untuk merespon lingkungan agar sesuai dnegan keinginannya sendiri vis a vis keinginan masyarakat.
Mitos 8: Entrepreneur mengabaikan kesenangan
Mitos mengatakan perencanaan dan evaluasi yang njelimet cenderung menimbulkan masalah yang permanen, analisis yang berlebihan menyebabkan paralysis, tapi dalam pasar yang kompetitif seperti sekarang ini dibutuhkan perencanaan dan persiapan yang cermat. Mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan suatu usaha, menetapkan dengan jelas suatu jadwal atau skedul untuk menghadapi perubahan membantu menangani masalah, dan meminimalisasikan masalah dapat dilakukan melalui perumusan strategi yang hati-hati – itu semua merupakan faktor kunci keberhasilan entrepreneurship. Dengan demikian perencanaan yang cermat – bukan mengabaikan perencanaan – adalah ciri dari entrepreneur yang sempurna.
Mitos 9: Entrepreneur mencari sukses tapi pengalaman menunjukkan tingginya tingkat kegagalan.
Adalah benar bahwa banylak entrepreneur menghadapi sejumlah kegagalan sebelum mereka berhasil. Mereka mengikuti kata bijak “Jika pertama anda belum berhasil, coba, coba lagi”. Sebenarnya kegagalan dapat memberikan banyak pelajaran, siapa yang mau belajar dari kegagalan sering mendapatkan sukses. Ini nampak jelas terlihat dalam prinsip koridor, yang menyatakan bahwa setiap langkah memiliki risiko, tapi sekaligus memunculkan peluang yang tidak diduga sebelumnya. Perusahaan 3M menemukan “Pos-it” kertas kecil yang dilapisi lem dengan tidak sengaja karena memanfaatkan lem yang tidak memenuhi kualifikasi produk. Dari pada dibuang sayang lebih baik dibuat post-it, akhirnya produk ini menghasilkan jutaan dolar dan dikenal di seluruh dunia. Sekarang catatan statistik tentang kegagalan entrepreneur itu menyesatkan. Suatu riset yang dilakukan oleh Bruce A. Kirchoff, melaporkan bahwa dari pelacakan 814.000 usaha yang mulai start pada 1977 menemukan bahwa 50% tetap hidup dan dikelola oleh pemilik awal atau pemilik baru. 28% ditutup secara suka rela, dan hanya 18% yang benar-benar gagal.
Mitos 10: Entrepreneur adalah risk taker yang ekstrim
Dalam masyarakat berkembang pandangan bahwa entrepreneur adalah orang yang suka berjudi dengan kemungkinan yang belum jelas, faktanya entrepreneur umumnya selalu memperhitungkan risiko. Semua entrepreneur yang berhasil adalah adalah mereka yang bekerja keras melalui persiapan dan perencanaan ketat untuk meminimalisasikan risiko untuk dapat mengendalikan lebih baik agar visinya tercapai.
Untuk mendobrak mitos, calon entrepreneur harus mempersiapkan pendidikan dengan baik. Pendidikan merupakan fondasi yang sangat penting bagi entrepreneur. Ia berperan penting dalam membantu entrepreneur menghadapi masalah yang harus diselesaikannya. Sejarah memang telah mencatat ada sejumlah entrepreneur berasal dari siswa drop out seperti William Durant, Henry Ford, Andrew Carnegie, Thomas Alva Edison dan William Lear. Secara formal pendidikan mereka tidak begitu bagus, tetapi mereka melakukan proses pembelajaran sendiri, mereka menyerap explicit knowledge melalui learning by doing sehingga mereka berhasil menyusun skema berfikir untuk dijadikan panduan menghadapi persoalan.
Pada waktu lalu berkembang pemikiran yang membedakan secara dikotomis antara entrepreneur dan bukan entrepreneur. Entrepreneur dicirikan dengan orang yang kreatif – imajinatif, berfikir bebas sedangkan yang bukan entrepreneur biasanya lebih mengandalkan logika semata, miopik dan kaku.
Sekarang ini pendikotomian tersebut tidak berlaku. Menurut penelitian David Hills dari Center for Creative Leadership, USA diperoleh temuan bahwa setiap orang itu mampu untuk menjadi kreatif. Kreativitas itu bukan bakat tetapi sesuatu yang dapat dipelajari. Hambatan terjadinya kreativitas diantaranya adalah pola berfikir yang tradisional. Orang tidak pernah dipicu innate creativity-nya. Kreativitas dapat diasah dengan memfungsikan peran otak kanan antara lain dengan:
Harus diakui bahwa mengembangkan kreativitas itu bukan pekerjaan mudah. Hambatan eksternal seperti tekanan waktu, tidak ada dukungan, kebijakan yang rigid adalah salah satu bentuk hambatan yang dihadapi oleh individu dalam mengembangkan kreativitas. Namun hambatan yang paling sulit untuk diatasi adalah hambatan yang berasal dari diri sendiri, yaitu berupa gembok mental yang menyebabkan kita tidak bisa berfikir merdeka. Sejumlah gembok mental yang kerap membatasi kreativitas, yakni:
Pengetahuan menjadi sangat penting dan strategis untuk meningkatkan kemakmuran. Pengetahuan baru tentang cara-cara produksi misalnya akan segera menyebar dan mudah ditiru, yang akhirnya jika tidak di-upgrade akan menjadi kurang bernilai. Pengetahuan yang menghasilkan kemakmuran di era sekarang ini adalah pengetahuan yang yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang menciptakan nilai bagi pelanggannya dan sulit untuk ditiru atau digantikan. Oleh karena itu untuk mengembangkan knowledge economy berarti mengembangkan kemampuan untuk menciptakan dan menggunakan pengetahuan baru secara berkesinambungan.
Kemampuan menciptakan dan menggunakan pengetahuan baru secara berkesinambungan sangat dipengaruhi oleh derajat kewirausahaan seseorang, karena kewirausahaan adalah suatu proses dinamik penciptaan kemakmuran. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan dan membangun suatu visi dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada dan bermakna bagi manusia melalui tindakan kreatif. Entrepreneur cenderung menggunakan enerjinya untuk melakukan dan membangun suatu kegiatan, ketimbang hanya melakukan pengamatan dan analisis. Dengan visinya, entrepreneur itu dengan sadar memperhitungkan risiko – baik secara personal maupun finansial – dan kemudian melakukan apa saja agar bisa mengurangi risiko dan kemungkinan gagal. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk mengindera (sensing) suatu opportunity, ketika yang lain masih melihatnya sebagai chaos, suatu yang kontradiksi, dan membingungkan. Entrepreneur itu memiliki know-how bagaimana menemukan sesuatu, merangkai, dan mengendalikan sumber-sumber (yang kadang-kadang dimiliki oleh orang lain) untuk mewujudkan tujuannya.
Pengetahuan yang dimiliki oleh entrepreneur itu bisa dipelajari sebagaimana kita mempelajari pengetahuan lainnya, yang lebih penting adalah menangkap spirit kewirausahaan. Spirit ini yang akan memotivasi seseorang untuk mengembangkan kemampuan entrepreneurialnya.
Dalam kesulitan ekonomi yang kita alami sekarang ini nampak ada isyarat bahwa masyarakat sudah mulai sadar akan pentingya inovasi. Harian Kompas beberapa minggu yang lalu memuat berita bahwa sekitar 600 paten diajukan oleh usaha kecil dan menengah (UKM). Reportase majalah Asiaweek edisi Oktober 2001 melaporkan bahwa dari segi pendaftaran paten, meski Indonesia hanya menempati urutan nomor dua terbawah, tetapi dengan tertiary enrolment (penduduk yang menamatkan sekolah lanjutan atas) yang mendekati Malaysia (Indonesia 11%, Malaysia 12%) ada harapan bila situasi ekonomi dan politik sudah kondusif terbuka peluang bagi munculnya lapisan entrepreneur yang masif.
Data yang dipaparkan Asiaweek dan reportase Kompas adalah suatu isyarat positif bagi perkembangan UKM, yaitu mereka mulai akrab dengan inovasi, yang merupakan hasil dari learning orientation dan menjadi embrio bagi terbentuknya wiraswasta inovatif. Learning (belajar) merupakan salah satu sumber paling penting bagi siapa saja untuk menciptakan keunggulan bersaing. Di dalam belajar selalu berlangsung suatu dialog yang terus menerus yang memberikan ruang bagi terbentuknya proses kreatif. Proses belajar akan menghasilkan pengetahuan (knowledge) baik yang bersifat tacit maupun explicit.
Untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dengan negara-negara Asia Pasifik sudah saatnya masyarakat perguruan tinggi (khususnya pendidikan tinggi teknik) mempunyai komitmen mengajarkan pengetahuan kewirausahaan agar virus entrepreneurship menyebar di kalangan lulusan perguruan tinggi sehingga dimungkinkan munculnya lapisan terpelajar yang mempunyai spirit entreprneurship yang bisa menjawab tantangan dan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan lingkungannya.
Perguruan tinggi dengan tradisi ilmiahnya yaitu selalu mengedepankan sikap skeptis terhadap “theory in use” dan selalu berusaha mencari kebaruan atau dengan istilah yang dikenalkan oleh Schumpeter yaitu creative destruction sebenarnya mampu melakukan hal itu. Mengapa perguruan tinggi di Indonesia, terutama di daerah belum mampu menjadi sumber inovasi, belum mampu meningkatkan kualitas SDM melalui pemikiran dan karya? Pendapat saya, sebagai seorang pengusaha, adalah masih rendahnya spirit kewirausahaan.
Saya di sini akan menggunakan pandangan Joseph A. Schumpeter, ekonom asal Austria yang kemudian menetap di Amerika (1883 – 1950) tentang entrepreneur. Ia mengatakan bahwa perilaku dan sifat entrepreneur yang khas adalah kemampuannya, kecerdasannya dan keberaniannya yang ditopang oleh ketetapan hatinya dan keteguhan jiwanya untuk melancarkan usaha yang serba baru dengan melihat pada kemungkinan-kemungkinan potensial di masa depan dan berhasil menjelmakan menjadi kenyataan efektif.
Satu hal dari pandangan Schumpeter yang menggugah adalah penilainnya tentang entrepreneur yang sama sekali berbeda dengan pengusaha (businessman). Entrepreneur memiliki “sikap jeli” terhadap kemungkinan potensial yang terbayang dalam perkembangan masa depan, kemudian mampu merintis dan mengatur inovasi, menempuh pola baru dalam penggunaan sumber dana dan daya produksi dalam suatu kombinasi optimal yang baru pula (neue Kombination).
Penemuan (Invention) yang ada baik di dunia perguruan tinggi atau di laboratorium-laboratorium penelitian milik pemerintah tidak akan ada artinya jika tidak digunakan secara komersil. Di sinilah perlunya komunikasi timbal balik antara perguruan tinggi dengan masyarakat terutama dunia usaha agar mereka mau menggunakan temuan-temuan itu untuk digunakan dalam kegiatan usaha. Dunia usaha dan masyarakat harus diyakinkan bahwa dengan inovasi atau lebih tepat disebut Neue Kombination dapat memperbesar laba, menghemat biaya (cost reducing) atau menciptakan permintaan (demand creating).
Kemitraan antara pendidikan tinggi dengan dunia usaha menjadi prasyarat mutlak untuk merangsang inovasi di kalangan pendidikan tinggi dan para lulusannya. Banyak tugas akhir mahasiswa teknik yang potensial memiliki nilai komersil tetapi hanya tersimpan di perpustakaan saja karena belum tumbuhnya tradisi kerjasama antara pendidikan tinggi dan dunia usaha.
Untuk ke depan sudah saatnya dipikirkan oleh kalangan dunia usaha untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan masyarakat perguruan tinggi dalam kerangka untuk meningkatkan daya saing dan menyebarkan tradisi entrepreneurship di kalangan pendidikan tinggi.
Entrepreneurship: Sesuatu Yang bisa dipelajari
Keengganan lulusan perguruan tinggi memilih menjadi entrepreneur salah satunya karena terjebak dalam mitos. Mahasiswa teknik hanya dibekali dengan kemampuan kognisi, tetapi tidak dibangkitkan daya afeksinya sehingga tidak terbangun orientasi sikap yang menjurus ke opportunity oriented. Lulusan pendidikan teknik lebih banyak ingin bekerja pada perusahaan ketimbang membangun usaha sendiri. Inilah tantangan ke depan yang harus dihadapi. Para lulusan perguruan tinggi sampai saat ini masih gamang memasuki dunia kewirausahaan karena adanya mitos yang seolah tidak terbantahkan. Sedikitnya ada 10 mitos yang membelenggu pikiran para pemula yang akan memasuki dunia kewirausahaan.
Mitos 1: Entrepreneur adalah pelaku, bukan pemikir
Dalam batas-batas tertentu entrepreneur memiliki kecenderungan berorientasi kepada tindakan, tetapi sebenarnya mereka juga pemikir. Mereka adalah orang yang berfikir sistematis yang merencanakan langkahnya dengan hati-hati. Entrepreneur pemikir dengan entrepreneur pelaksana adalah sama-sama melaksanakan kegiatan entrepreneurship.
Mitos 2: Entrepreneur itu dilahirkan, bukan diciptakan
Muncul anggapan bahwa tabiat dan sifat entrepreneur tidak dapat diajarkan atau dipelajari, mereka memiliki bakat pembawaan lahir. Bakat tersebut diantaranya adalah mencakup ke-agresif-an, inisiatif, dorongan, kemauan untuk mengambil risiko, kemampuan analitik, dan kemampuan human relation. Sekarang diakui bahwa entrepreneurship adalah suatu disiplin ilmu yang dapat membantu untuk mematahkan mitos. Seperti halnya ilmu-ilmu lain entrepreneurship mempunyai model, proses, dan studi kasus yang memungkinkan untuk mengkaji suatu topik dan menguraikan karakteristik obyek yang dikajinya.
Mitos 3: Entrepreneur selalu merupakan penemu (Inventors)
Pemikiran yang menganggap entrepreneur adalah penemu merupakan akibat dari kurang dipahaminya visi tersembunyi entrepreneur. Memang dalam keadaan tertentu penemu juga sekaligus menjadi entrepreneur. Di sini ada sejumlah entrepreneur yang melakukan berbagai jenis kegiatan inovatif tetapi bukan penemu. Contoh Ray Kroc, tidak menemukan franchise fast-food, tapi ide inovatifnya menjadikan McDonald merupakan perusahaan fast-food terbesar di dunia. Pemahaman terbaru tentang entrepreneurship cakupannya bukan sekedar pada invention. Tapi mencakup pemahaman yang lengkap dari perilaku inovatif apapun bentuknya.
Mitos 4: Entrepreneur adalah orang yang canggung baik di dunia akademis atau di masyarakat.
Ada kepercayaan bahwa entrepreneur secara akademis dan sosial merupakan orang yang gagal. Mereka berhasil menjalankan usahanya karena drop out dari sekolah atau dipecat dari tempat kerja. Ini kemudian digunakan untuk memahami profil entrepreneur tipikal. Secara historis sebenarnya pendidikan dan organisasi sosial tidak mengakui entrepreneur. Entrepreneur disingkirkan dari dunia perusahaan raksasa karena dianggap orang yang canggung. Dalam pendidikan bisnis, untuk contoh tujuan utamanya adalah memahami aktivitas perusahaan bukan pada siapa yang berada di balik perusahaan. Sekarang entrepreneur dipandang sebagai hero – baik secara sosial, ekonomi, dan akademik. Dia bukan lagi si canggung, entrepreneur sekarang dipandang sebagai profesional.
Mitos 5: Entrepreneur harus sesuai dengan profil
Banyak buku dan artikel menyajikan cheklist ciri-ciri entrepreneur sukses. Daftar tersebut baik yang divalidasi atau tidak didasarkan pada studi kasus dan temuan riset atas orang-orang yang berorientasi pada pencapaian. Sekarang sangat susah untuk melakukan kompilasi hingga terwujud standar profil entrepreneurial.
Mitos 6: Untuk menjadi entrepreneur anda perlu memiliki uang
Memang benar bahwa semua usaha membutuhkan modal untuk bisa berjalan; juga benar bahwa banyak bisnis jatuh karena tidak didukung keuangan yang memadai. Sekarang uang bukan satu-satunya benteng untuk menghadapi kegagalan bisnis. Kegagalan bisnis yang berkaitan dengan tidak adanya dukungan finansial yang memadai sering menjadi indikator adanya problem lain dalam usaha tersebut seperti: ketidakmampuan manajemen, lemahnya pemahaman terhadap persoalan keuangan; investasi yang buruk; perencanaan yang jelek dan sejenisnya. Banyak entrepreneur sukses berhasil mengatasi persoalan kekurangan uang dalam menjalankan usahanya, uang adalah sumber daya atau sarana yang digunakan untuk menjalankan usaha tapi tidak pernah menjadi tujuan akhir dari usaha itu sendiri.
Mitos 7: Anda perlu nasib baik untuk menjadi entrepreneur
Berada pada “tempat yang benar dan waktu yang tepat” selalu menjadi suatu keunggulan. Tapi yang lebih tepat adalah “keberuntungan muncul ketika kemampuan dan persiapan bertemu dengan kesempatan”. Entrepreneur adalah orang melakukan serangkaian persiapan agar berhasil menggapai kesempatan. Ketika kesempatan itu muncul dan dapat diraih sering dianggap sebagai suatu keberuntungan. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang selalu melakukan persiapan untuk menghadapi berbagai situasi dan mengubahnya menjadi sukses. Apa yang nampak sebagai suatu keberuntungan sebenarnya adalah buah dari melakukan perencanaan, menetapkan tujuan dan keinginan, mengakumulasi pengetahuan, dan melakukan inovasi. Intinya seorang entrepreneur adalah yang terus menerus waspada dan belajar untuk merespon lingkungan agar sesuai dnegan keinginannya sendiri vis a vis keinginan masyarakat.
Mitos 8: Entrepreneur mengabaikan kesenangan
Mitos mengatakan perencanaan dan evaluasi yang njelimet cenderung menimbulkan masalah yang permanen, analisis yang berlebihan menyebabkan paralysis, tapi dalam pasar yang kompetitif seperti sekarang ini dibutuhkan perencanaan dan persiapan yang cermat. Mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan suatu usaha, menetapkan dengan jelas suatu jadwal atau skedul untuk menghadapi perubahan membantu menangani masalah, dan meminimalisasikan masalah dapat dilakukan melalui perumusan strategi yang hati-hati – itu semua merupakan faktor kunci keberhasilan entrepreneurship. Dengan demikian perencanaan yang cermat – bukan mengabaikan perencanaan – adalah ciri dari entrepreneur yang sempurna.
Mitos 9: Entrepreneur mencari sukses tapi pengalaman menunjukkan tingginya tingkat kegagalan.
Adalah benar bahwa banylak entrepreneur menghadapi sejumlah kegagalan sebelum mereka berhasil. Mereka mengikuti kata bijak “Jika pertama anda belum berhasil, coba, coba lagi”. Sebenarnya kegagalan dapat memberikan banyak pelajaran, siapa yang mau belajar dari kegagalan sering mendapatkan sukses. Ini nampak jelas terlihat dalam prinsip koridor, yang menyatakan bahwa setiap langkah memiliki risiko, tapi sekaligus memunculkan peluang yang tidak diduga sebelumnya. Perusahaan 3M menemukan “Pos-it” kertas kecil yang dilapisi lem dengan tidak sengaja karena memanfaatkan lem yang tidak memenuhi kualifikasi produk. Dari pada dibuang sayang lebih baik dibuat post-it, akhirnya produk ini menghasilkan jutaan dolar dan dikenal di seluruh dunia. Sekarang catatan statistik tentang kegagalan entrepreneur itu menyesatkan. Suatu riset yang dilakukan oleh Bruce A. Kirchoff, melaporkan bahwa dari pelacakan 814.000 usaha yang mulai start pada 1977 menemukan bahwa 50% tetap hidup dan dikelola oleh pemilik awal atau pemilik baru. 28% ditutup secara suka rela, dan hanya 18% yang benar-benar gagal.
Mitos 10: Entrepreneur adalah risk taker yang ekstrim
Dalam masyarakat berkembang pandangan bahwa entrepreneur adalah orang yang suka berjudi dengan kemungkinan yang belum jelas, faktanya entrepreneur umumnya selalu memperhitungkan risiko. Semua entrepreneur yang berhasil adalah adalah mereka yang bekerja keras melalui persiapan dan perencanaan ketat untuk meminimalisasikan risiko untuk dapat mengendalikan lebih baik agar visinya tercapai.
Untuk mendobrak mitos, calon entrepreneur harus mempersiapkan pendidikan dengan baik. Pendidikan merupakan fondasi yang sangat penting bagi entrepreneur. Ia berperan penting dalam membantu entrepreneur menghadapi masalah yang harus diselesaikannya. Sejarah memang telah mencatat ada sejumlah entrepreneur berasal dari siswa drop out seperti William Durant, Henry Ford, Andrew Carnegie, Thomas Alva Edison dan William Lear. Secara formal pendidikan mereka tidak begitu bagus, tetapi mereka melakukan proses pembelajaran sendiri, mereka menyerap explicit knowledge melalui learning by doing sehingga mereka berhasil menyusun skema berfikir untuk dijadikan panduan menghadapi persoalan.
Pada waktu lalu berkembang pemikiran yang membedakan secara dikotomis antara entrepreneur dan bukan entrepreneur. Entrepreneur dicirikan dengan orang yang kreatif – imajinatif, berfikir bebas sedangkan yang bukan entrepreneur biasanya lebih mengandalkan logika semata, miopik dan kaku.
Sekarang ini pendikotomian tersebut tidak berlaku. Menurut penelitian David Hills dari Center for Creative Leadership, USA diperoleh temuan bahwa setiap orang itu mampu untuk menjadi kreatif. Kreativitas itu bukan bakat tetapi sesuatu yang dapat dipelajari. Hambatan terjadinya kreativitas diantaranya adalah pola berfikir yang tradisional. Orang tidak pernah dipicu innate creativity-nya. Kreativitas dapat diasah dengan memfungsikan peran otak kanan antara lain dengan:
- Selalu mengembangkan pertanyaan, “Apakah ini merupakan satu-satunya cara terbaik, tidak adakah cara lain?”. Ini adalah suatu bentuk berfikir divergen.
- Melawan kebiasaan, rutinitas dan tradisi atau sesuatu yang telah mapan.
- Selalu melakukan refleksi, berfikir imajinatif.
- Play mental games, yaitu mencoba melihat persoalan dari perspektif yang berbeda seperti melalui analogi atau metafora.
- Terbuka untuk mendapatkan lebih dari satu jawaban yang benar
- Menautkan gagasan yang nampaknya tidak berhubungan dengan persoaan yang dihadapi untuk membangkitkan solusi yang inovatif.
- Mengembangkan “helicopter skill” yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu persoalan dari perspektif yang lebih luas dan kemudian menukik kembali pada fokus persoalan dan mencari solusinya dengan berbagai alternatif solusi.
Harus diakui bahwa mengembangkan kreativitas itu bukan pekerjaan mudah. Hambatan eksternal seperti tekanan waktu, tidak ada dukungan, kebijakan yang rigid adalah salah satu bentuk hambatan yang dihadapi oleh individu dalam mengembangkan kreativitas. Namun hambatan yang paling sulit untuk diatasi adalah hambatan yang berasal dari diri sendiri, yaitu berupa gembok mental yang menyebabkan kita tidak bisa berfikir merdeka. Sejumlah gembok mental yang kerap membatasi kreativitas, yakni:
- Terfokus pada upaya mencari “satu jawaban yang benar”. Padahal setiap persoalan itu memiliki ambiguitas. Satu pertanyaan memiliki banyak jawaban yang benar.
- Terlalu mengandalkan pada logika. Logika memang bagian penting dari proses kreatif, khususnya ketika mengevaluasi dan mengimplementasikan ide. Namun demikian pada fase proses imajinatif, berfikir logis sering menggembok kreativitas. Intuisi menjadi lebih penting, karena ia merupakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang kaya dengan perspektif.
- Mengikuti aturan dengan membuta. Kita sering tidak cukup berani untuk keluar dari aturan. Seringkali kreativitas itu muncul karena kemampuan kita untuk melanggar aturan yang sudah ada sehingga kita bisa melihat cara baru untuk melakukan sesuatu. Contoh yang sangat bagus adalah “Shinkasen Thinking”. Jepang tidak akan mampu menciptakan kereta peluru berkecepatan tinggi bila terpaku pada rule perkeretaapian yang sudah ada.
- Selalu berorientasi praktis. Membayangkan jawaban yang terkadang tidak masuk akal dari suatu pertanyaan yang logis sering memberikan inspirasi terbentuknya ide kreatif.
- Menjadi terlalu spesialis. Orang yang terlalu spesialis cenderung kurang tertarik pada sesuatu yang berada di luar bidangnya. Padahal pemikir kreatif cenderung mencari ide di luar wilayah spesialisasinya.
- Menghindari ambiguitas. Ambiguitas dapat menjadi stimulus yang kuat bagi kreativitas. Ambiguitas mendorong kita untuk memikirkan sesuatu yang berbeda. Ada contoh menarik, Jeffrey Erexson seorang entrepreneur mengajukan pertanyaan, “apa itu kulit?” hampir semua orang mengatakan bahwa kulit adalah jangat binatang mamalia. Erexson kemudian bertanya lagi, “mengapa bukan jangat dari ikan?” Dengan menghargai ambigiuitas ia akhirnya menemukan peluang usaha dengan mendirikan Ocean Leather Inc. Bahkan baru-baru ini anak-anak Yogya malah lebih hebat lagi, yaitu menyajikan tas dan sepatu dari kulit kaki ayam.Inilah pentingnya ambiguitas.
- Takut kelihatan bodoh. Berfikir kreatif itu tidak memberi tempat bagi konformitas. Ide-ide baru jarang lahir dari lingkungan yang konformis.
- Takut berbuat kesalahan. Orang kreatif dalam mencoba gagasan baru sering menghadapi kegagalan. Namun mereka tidak melihat kegagalan sebagai akhir dari segalanya. Kegagalan adalah merupakan biaya belajar untuk sukses.
- Cepat mengaku dirinya tidak kreatif. Banyak orang merasa dirinya tidak kreatif, karena mereka menganggap kreatif itu hanya milik segelintir orang.